Benarkah Hidup Kita Sudah Ditentukan Tuhan? Bongkar Misteri Predestinasi Lutheran, Calvinis, dan Katolik!
Pendahuluan
Predestinasi atau takdir
ilahi sering menjadi salah satu isu yang paling menantang dan mendalam dalam
sejarah teologi Kristen. Diskusi seputar apakah keselamatan manusia telah
ditentukan Allah sebelum dunia dijadikan ataukah manusia tetap memiliki peran aktif
dalam memilih keselamatan, sudah menjadi bahan refleksi, polemik, bahkan
perdebatan hangat sejak zaman gereja mula-mula hingga era Reformasi, dan masih
terus bergema sampai hari ini. Topik ini memiliki relevansi besar, bukan hanya
secara teologis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen—baik
ketika mereka berhadapan dengan kegelisahan eksistensial, pertanyaan tentang
keadilan Allah, maupun pencarian makna hidup yang sejati (Paulson & Klotz,
2016; van Wyk, 2018).
Artikel ini bertujuan
mengulas secara komprehensif pemahaman predestinasi menurut Lutheran,
membandingkannya dengan pandangan Calvinis, Katolik, dan Ortodoks, serta
melihat relevansinya di tengah pergumulan iman Kristen masa kini. Kajian ini
menggunakan literatur terbuka dan penelitian akademik kredibel sebagai dasar,
sehingga dapat menjadi referensi yang solid bagi siapa saja yang ingin memahami
lebih dalam ajaran predestinasi dalam kekristenan.
Sejarah Singkat Doktrin
Predestinasi
Gagasan tentang
predestinasi sudah ada sejak awal gereja. Dasarnya bisa ditemukan dalam Kitab
Suci, terutama pada surat Paulus kepada jemaat di Roma dan Efesus, di mana
disebutkan bahwa Allah telah memilih dan menetapkan orang-orang yang akan
diselamatkan (Efesus 1:4–5; Roma 8:29–30). Namun, bagaimana ayat-ayat tersebut
harus dipahami? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bervariasi, tergantung pada
tradisi gereja dan konteks sejarahnya.
Augustinus (354–430 M),
salah satu Bapa Gereja terpenting, adalah tokoh pertama yang secara sistematis
mengembangkan doktrin predestinasi dalam rangka menanggapi ajaran Pelagius,
yang menekankan kemampuan manusia untuk memilih keselamatan. Augustinus menegaskan
bahwa hanya anugerah Allah yang dapat menyelamatkan manusia dan bahwa pemilihan
Allah bersifat pasti serta tidak dapat digagalkan oleh kehendak manusia (Dool,
2008). Pandangan Augustinus inilah yang kemudian sangat memengaruhi
perkembangan ajaran predestinasi di gereja Barat, baik dalam tradisi Katolik
maupun Protestan.
Pada masa Reformasi, isu
predestinasi kembali menjadi pusat perhatian, terutama melalui polemik antara
Martin Luther dan Erasmus. Luther, dalam karya terkenalnya De Servo Arbitrio
(The Bondage of the Will), menegaskan bahwa kehendak manusia telah diperbudak
oleh dosa sehingga hanya anugerah Allah yang dapat membebaskan manusia (Paulson
& Klotz, 2016). Sementara itu, John Calvin membawa doktrin predestinasi ke
tingkat sistematisasi yang lebih tinggi dalam tradisi Reformed/Calvinis,
menekankan “double predestination”—yakni bahwa Allah secara aktif menetapkan
siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang akan binasa (van Wyk, 2018).
Pandangan Predestinasi
dalam Lutheranisme
Landasan Teologis
Dalam tradisi Lutheran,
predestinasi adalah bagian penting dari pemahaman tentang keselamatan. Lutheran
menekankan bahwa keselamatan adalah karya anugerah Allah semata, tanpa
kontribusi atau kerja sama manusia. Manusia, menurut Luther, telah jatuh sepenuhnya
dalam dosa (total depravity), sehingga tidak mampu memilih Allah atau merespon
Injil tanpa pertolongan anugerah yang mendahului (prevenient grace) (Paulson
& Klotz, 2016). Ini sejalan dengan pemikiran Augustinus, namun Luther
menghindari penekanan pada predestinasi ganda sebagaimana dalam Calvinisme.
Predestinasi dalam
Lutheranisme dipahami sebagai “pemilihan ke keselamatan” (election to
salvation), artinya Allah memilih orang-orang tertentu untuk diselamatkan,
namun Lutheran menolak ajaran bahwa Allah juga menetapkan sebagian orang untuk
binasa (double predestination). Dengan kata lain, Allah hanya disebut aktif
dalam hal pemilihan, bukan penolakan. Jika seseorang binasa, itu akibat
penolakan pribadi terhadap anugerah, bukan keputusan aktif Allah (Paulson &
Klotz, 2016).
Kepastian Keselamatan dan
Anugerah Universal
Salah satu keunikan
pandangan Lutheran adalah penekanannya pada kepastian keselamatan (assurance of
salvation). Luther sendiri sering menekankan bahwa orang percaya dapat dan
seharusnya memiliki keyakinan penuh atas keselamatan mereka, sebab didasarkan pada
janji Allah di dalam Kristus, bukan pada perasaan, pengalaman rohani, atau
prestasi moral pribadi (Paulson & Klotz, 2016). Konsep ini bertujuan untuk
memberikan ketenangan batin dan menghilangkan kecemasan iman yang seringkali
muncul dalam tradisi Kristen lain yang terlalu menekankan syarat-syarat
tertentu bagi keselamatan.
Di sisi lain, Lutheran
juga menekankan bahwa anugerah Allah bersifat universal—Tuhan menghendaki semua
orang untuk diselamatkan (1 Timotius 2:4), dan pengorbanan Kristus berlaku bagi
seluruh umat manusia. Akan tetapi, anugerah ini hanya efektif bagi mereka yang
percaya; penolakan terhadap Injil merupakan penolakan pribadi yang berakibat
kebinasaan, tetapi bukan karena Allah “menghendaki” kehancuran seseorang
(Paulson & Klotz, 2016).
Kritik terhadap Fatalisme
dan Ketegangan dengan Kehendak Bebas
Salah satu kritik yang
sering diarahkan kepada doktrin predestinasi, baik dalam tradisi Lutheran
maupun Calvinis, adalah potensi jatuh pada fatalisme atau keputusasaan
(Brosche, 1978). Lutheran secara tegas menolak pemahaman sempit seperti itu.
Menurut Lutheran, misteri predestinasi adalah bagian dari kebesaran dan kasih
Allah, bukan sesuatu yang menakutkan. Dalam doktrin Lutheran, manusia tetap
memiliki tanggung jawab untuk merespon Injil, walaupun keselamatan sepenuhnya
adalah karya Allah.
Predestinasi Menurut
Calvinisme
Dalam teologi
Calvinis/Reformed, predestinasi ditempatkan di pusat sistem kepercayaan. Calvin
dalam Institutes of the Christian Religion menulis bahwa Allah, dalam
kedaulatan-Nya, telah menentukan siapa yang akan diselamatkan (the elect) dan
siapa yang akan binasa (the reprobate)—suatu doktrin yang dikenal sebagai
predestinasi ganda (double predestination) (van Wyk, 2018). Calvin menegaskan
bahwa keputusan Allah ini sepenuhnya bebas dan tidak didasarkan pada
pengetahuan sebelumnya tentang iman atau perbuatan manusia.
Konsekuensi logis dari
ajaran ini adalah bahwa keselamatan maupun kebinasaan sepenuhnya merupakan
hasil kehendak Allah. Bagi sebagian orang, ajaran ini membawa ketenangan karena
memastikan keselamatan bukan hasil usaha manusia. Namun, tidak sedikit yang menganggapnya
menimbulkan kecemasan, keraguan, atau bahkan pesimisme, khususnya jika
seseorang meragukan status dirinya di hadapan Allah (Chmielewska, 2017).
Pandangan Calvinis juga
mendorong etos kerja keras dan disiplin dalam masyarakat, sebagaimana
dianalisis dalam penelitian sosiologis klasik Max Weber tentang “Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism.” Namun, dalam beberapa konteks, doktrin ini
juga berpotensi menimbulkan eksklusivisme atau penilaian negatif terhadap
mereka yang dianggap “tidak terpilih.”
Predestinasi dalam
Katolik dan Ortodoks
Gereja Katolik menerima
predestinasi sebagai ajaran resmi, namun memahami predestinasi dalam kerangka
“sinergi” antara rahmat Allah dan kehendak bebas manusia. Dalam doktrin
Katolik, Allah memang mengetahui dan menentukan siapa yang akan diselamatkan,
namun manusia tetap diberi kebebasan untuk menanggapi rahmat itu melalui iman,
pertobatan, dan perbuatan kasih (Dool, 2008).
Katolik menolak doktrin
predestinasi ganda seperti dalam Calvinisme, dan menegaskan bahwa Allah tidak
pernah secara aktif menetapkan seseorang untuk binasa. Pandangan ini diperkuat
oleh berbagai konsili Gereja, termasuk Konsili Trente pada abad ke-16. Dalam
praktiknya, Katolik menekankan pentingnya sakramen, komunitas gereja, dan
perbuatan kasih sebagai respons atas rahmat Allah, bukan sebagai syarat mutlak
yang menambah karya keselamatan Kristus.
Sementara itu, Gereja
Ortodoks menekankan bahwa predestinasi tidak boleh dipahami secara mekanistik
atau fatalistik. Ortodoks berbicara tentang “pra-pengetahuan” Allah
(foreknowledge), yaitu bahwa Allah mengetahui semua yang akan terjadi, namun
tidak memaksakan kehendak-Nya kepada manusia. Manusia tetap diajak untuk
bekerjasama dalam karya keselamatan, sehingga keselamatan dipandang sebagai
proses dinamis (Dool, 2008).
Perbandingan: Persamaan
dan Perbedaan Utama
Secara umum, ada beberapa
poin utama yang membedakan pemahaman predestinasi di tiga tradisi besar
Kristen:
- Lutheran:
Menekankan pemilihan ke keselamatan; Allah memilih orang yang akan diselamatkan, namun tidak menetapkan siapa yang binasa. Keselamatan hanya oleh anugerah, namun tanggung jawab manusia tetap ditegaskan melalui respons iman. - Calvinis:
Menekankan double predestination; Allah secara aktif menentukan baik yang diselamatkan maupun yang binasa. Kedaulatan Allah mutlak, kehendak bebas manusia tidak berperan dalam keselamatan. - Katolik:
Menekankan sinergi; Allah menentukan keselamatan namun manusia harus menanggapi dengan iman dan perbuatan baik. Menolak double predestination dan menekankan kebebasan manusia. - Ortodoks:
Menekankan misteri keselamatan sebagai sinergi antara rahmat dan kebebasan manusia, menolak semua bentuk fatalisme. Allah mengetahui semua, namun tidak memaksakan keputusan pada manusia.
Tabel Perbandingan
Sederhana:
|
Tradisi |
Siapa
yang Memilih? |
Peran
Manusia |
Double
Predestination? |
Kepastian
Keselamatan? |
|
Lutheran |
Allah |
Merespon
iman |
Tidak |
Bisa
diyakini melalui iman |
|
Calvinis |
Allah |
Tidak |
Ya |
Hanya
jika termasuk “elect” |
|
Katolik |
Allah
& manusia |
Sangat
penting |
Tidak |
Harus
terus diusahakan |
|
Ortodoks |
Allah
& manusia |
Sangat
penting |
Tidak |
Proses
bersama (theosis) |
Predestinasi dan
Kehidupan Kristen Masa Kini
Dalam dunia modern yang
penuh dengan ketidakpastian, pemahaman tentang predestinasi tetap sangat
relevan. Penelitian terbaru menunjukkan, doktrin ini bisa menjadi sumber
penghiburan dan penguatan iman bila dipahami secara sehat, tetapi bisa pula
menjadi sumber kecemasan jika disalahartikan (Paulson & Klotz, 2016).
Gereja-gereja di seluruh dunia kini dihadapkan pada tantangan untuk mengajarkan
predestinasi secara kontekstual, dengan menekankan kasih Allah dan tanggung
jawab pribadi.
Di Indonesia,
predestinasi sering kali dipahami keliru sebagai “takdir” atau “nasib” sehingga
menyebabkan fatalisme dan pasifisme dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena
itu, gereja perlu menekankan bahwa keselamatan adalah anugerah, tetapi tetap
membutuhkan respons aktif dalam iman dan tindakan. Dengan begitu, ajaran
predestinasi tidak akan menjadi beban, melainkan sumber harapan dan dorongan
untuk hidup bertanggung jawab di hadapan Allah dan sesama.
Kesimpulan
Predestinasi adalah salah
satu doktrin paling tua, kontroversial, namun juga paling membebaskan dalam
tradisi Kristen. Pemahaman Lutheran menempatkan predestinasi sebagai misteri
kasih Allah yang memilih dan memanggil manusia untuk menerima keselamatan di
dalam Kristus, tanpa meniadakan tanggung jawab pribadi. Dengan membandingkan
berbagai pandangan Kristen, kita belajar bahwa doktrin ini harus selalu
ditempatkan dalam terang kasih Allah yang universal, tanpa terjebak dalam
fatalisme atau kecemasan yang tidak perlu.
Dengan refleksi dan
pemahaman yang benar, predestinasi bukan hanya menjadi tema perdebatan
teologis, tetapi juga sumber kekuatan, harapan, dan motivasi untuk menjalani
kehidupan iman yang autentik di zaman modern.
Referensi:
Brosche, F. (1978).
Luther on Predestination: The antinomy and the unity between love and wrath in
Luther's concept of God. The Journal of Ecclesiastical History, 31, 261.
Chmielewska, L. (2017).
The economic ethics of Calvinism. The reconciliation of piety and
wealth. , 20, 77-89. https://doi.org/10.18778/1899-2226.20.7.06.
Dool, J. (2008).
Predestination, Freedom, and the Logic of Love. Logos: A Journal of
Catholic Thought and Culture, 11, 105 - 125.
https://doi.org/10.1353/LOG.0.0004.
Paulson, S., & Klotz,
J. (2016). The Promise of Predestination. Lutheran Quarterly, 30,
249 - 275. https://doi.org/10.1353/LUT.2016.0061.
Van Wyk, I. (2018).
Luther and Calvin on predestination: A comparison. In die Skriflig/In
Luce Verbi. https://doi.org/10.4102/ids.v52i2.2342.

0 Response to "Benarkah Hidup Kita Sudah Ditentukan Tuhan? Bongkar Misteri Predestinasi Lutheran, Calvinis, dan Katolik!"
Posting Komentar