Apa Itu Pertobatan Sejati? Pandangan Teologi Lutheran yang Menghibur Hati Nurani
Pendahuluan
Pertobatan merupakan
salah satu tema sentral dalam kehidupan iman Kristen. Hampir semua tradisi
gereja menekankan pentingnya pertobatan sebagai jalan kembali manusia kepada
Allah. Namun, pengertian dan praktik pertobatan mengalami perbedaan yang cukup
signifikan di antara denominasi Kristen. Gereja Katolik Roma pada abad
pertengahan, misalnya, memandang pertobatan sebagai suatu rangkaian ritual yang
meliputi pengakuan dosa, penyesalan, dan tindakan kepuasan (satisfactio).
Sementara itu, Reformasi Lutheran menegaskan bahwa pertobatan sejati hanya
dapat dipahami secara benar apabila dikaitkan langsung dengan hukum dan Injil,
serta ditopang oleh iman kepada Kristus.
Definisi Pertobatan Menurut Teologi
Lutheran
Dalam teologi Lutheran,
pertobatan tidak sekadar berarti rasa bersalah atau penyesalan emosional atas
dosa, melainkan suatu proses spiritual yang melibatkan dua dimensi utama:
1.
Contritio
(penyesalan atau remuk hati)
Contritio adalah
kesedihan hati yang sejati karena menyadari keberdosaan di hadapan Allah.
Penyesalan ini bukan sekadar rasa takut terhadap hukuman, melainkan kesadaran
eksistensial bahwa manusia telah memberontak melawan kehendak Allah. Sumber
dari contritio adalah hukum Allah yang menyingkapkan dosa. Seperti yang ditulis
Paulus: “Melalui hukum Taurat orang mengenal dosa” (Roma 3:20). Dengan
demikian, hukum berfungsi sebagai cermin yang memperlihatkan kondisi manusia
yang sebenarnya, yakni berdosa dan tak berdaya menyelamatkan dirinya.
2.
Fides
(iman kepada Kristus)
Pertobatan sejati tidak berhenti
pada kesedihan atau rasa bersalah. Jika berhenti di sana, manusia hanya akan
jatuh ke dalam keputusasaan. Pertobatan harus dilengkapi dengan iman kepada
Kristus, yakni keyakinan bahwa Allah benar-benar mengampuni dosa karena karya
penebusan Kristus. Inilah yang disebut sebagai aspek Injil dalam pertobatan.
Melalui Injil, hati nurani yang remuk mendapatkan penghiburan dan kepastian
keselamatan.
Selain dua unsur utama tersebut,
terdapat aspek ketiga yang disebut buah pertobatan (fructus poenitentiae),
yaitu perubahan hidup yang nyata. Buah pertobatan berupa kesediaan untuk
meninggalkan dosa, hidup dalam kasih, serta melayani sesama. Namun, perlu
ditekankan bahwa buah pertobatan bukanlah inti, melainkan konsekuensi dari iman
yang sejati.
Kritik Terhadap Praktik Pertobatan
Katolik Abad Pertengahan
Reformasi Lutheran
muncul di tengah konteks di mana pertobatan dipraktikkan secara keliru. Gereja
Katolik pada masa itu menekankan tiga unsur pokok dalam pertobatan: contritio,
confessio, dan satisfactio.
1.
Contritio
dipahami sebagai usaha manusia untuk menghasilkan kesedihan yang cukup agar
layak menerima kasih karunia. Ajaran ini menimbulkan kegelisahan karena manusia
dipaksa mengandalkan kualitas emosinya sendiri, bukan janji Allah.
2. Confessio
(pengakuan dosa) dijadikan syarat yang sangat legalistik. Jemaat diwajibkan
menyebutkan setiap dosa secara rinci. Hal ini jelas mustahil karena manusia
tidak mungkin mengingat seluruh dosanya.
3.
Satisfactio
(kepuasan atau penitensi) menjadi bagian paling problematis. Umat diajarkan
untuk melakukan berbagai tindakan seperti doa rosario, ziarah, puasa, atau
bahkan membeli indulgensi, seolah-olah tindakan itu mampu menghapus dosa atau
memperpendek hukuman di api penyucian.
Melanchthon menilai praktik
tersebut bukan saja bertentangan dengan Kitab Suci, melainkan juga merendahkan
karya penebusan Kristus yang sempurna. Pertobatan dipersempit menjadi ritual
lahiriah, dan pengampunan diperdagangkan melalui indulgensi. Dalam kerangka
itu, iman justru dikesampingkan.
Pembelaan Lutheran: Pertobatan
Sebagai Anugerah Injil
Melanchthon dalam
Apologi menegaskan bahwa inti pertobatan adalah perjumpaan antara hukum dan
Injil. Hukum menyingkapkan dosa dan menghancurkan kesombongan manusia,
sementara Injil menghadirkan Kristus sebagai satu-satunya sumber pengampunan.
1.
Pengampunan
hanya oleh iman
Roma 5:1 menegaskan,
“Sebab kita telah dibenarkan oleh iman, maka kita hidup dalam damai sejahtera
dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.” Dengan demikian, iman
adalah kunci yang membuat pertobatan menjadi nyata. Tanpa iman, contritio hanya
menghasilkan rasa takut; dengan iman, contritio menghasilkan penghiburan.
2.
Kuasa
kunci-kunci (keys of the kingdom)
Dalam pandangan
Lutheran, absolusi (pengucapan pengampunan dosa oleh pendeta) adalah
perpanjangan janji Injil itu sendiri. Ketika pendeta berkata, “Dosamu sudah
diampuni dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus,” maka itu bukan sekadar
kata-kata manusia, melainkan tindakan Allah sendiri. Dengan demikian, sakramen
pertobatan bukanlah mekanisme magis, melainkan sarana iman menerima janji
Injil.
3.
Dasar
Kitab Suci dan Bapa Gereja
Melanchthon mendukung argumennya
dengan contoh-contoh Alkitab: pertobatan Daud (Mazmur 51), Petrus yang menangis
setelah menyangkal Kristus (Matius 26:75), atau wanita berdosa yang diampuni
(Lukas 7:36–50). Semua contoh tersebut menunjukkan pola yang sama: penyesalan
yang sejati, lalu penghiburan melalui janji pengampunan. Para Bapa Gereja
seperti Agustinus, Ambrosius, Bernardus, dan Tertullianus juga menekankan iman
sebagai inti dari pengampunan.
Penolakan terhadap Dogma-dogma Roma
Dalam Book of Concord tentang Apologi Konfesi Ausburg
Pasal XII mengenai pertobatan, secara eksplisit menolak sejumlah ajaran Katolik
yang dianggap menyimpang, di antaranya:
1.
Bahwa
manusia dapat memperoleh kasih karunia melalui perbuatan baik tanpa iman.
2.
Bahwa
penyesalan emosional tanpa iman sudah cukup untuk menerima pengampunan.
3.
Bahwa
pengampunan dosa dapat diperoleh melalui indulgensi atau misa untuk orang mati.
4.
Bahwa
pengampunan bisa terjadi tanpa mengacu pada Kristus sebagai dasar.
Bagi Melanchthon, seluruh ajaran
tersebut bukan hanya keliru, melainkan berbahaya karena menyesatkan hati nurani
dan menutupi Injil Kristus.
Implikasi Teologis dan Pastoral
Ajaran Lutheran tentang pertobatan memiliki implikasi
yang luas, baik secara teologis maupun pastoral.
1.
Bagi
teologi: ajaran ini menegaskan prinsip sola gratia (hanya oleh anugerah) dan
sola fide (hanya oleh iman). Pertobatan adalah karya Roh Kudus dalam hati
manusia, bukan hasil usaha manusia.
2.
Bagi
pastoral: jemaat tidak lagi perlu hidup dalam ketakutan akan apakah dosanya
sungguh diampuni atau tidak. Kepastian pengampunan diberikan melalui janji
Injil. Dengan demikian, hati nurani dapat beristirahat dalam damai sejahtera
Allah.
3.
Bagi
etika Kristen: iman yang sejati selalu menghasilkan buah pertobatan. Jemaat
yang telah menerima pengampunan dipanggil untuk hidup dalam kasih, meninggalkan
dosa, dan mewujudkan iman dalam perbuatan.
Kesimpulan
Pertobatan sejati
menurut ajaran Lutheran bukanlah sekadar ritual lahiriah atau usaha manusia
untuk menebus dosa. Pertobatan adalah pengalaman rohani yang melibatkan dua hal
utama: penyesalan yang sejati karena hukum Allah, dan iman yang menerima
pengampunan melalui Injil Kristus. Buah pertobatan berupa perubahan hidup
memang penting, tetapi bukanlah inti yang menyelamatkan.
Dengan demikian, Apologi Konfesi Ausburg menegaskan
bahwa keselamatan tidak bergantung pada kualitas penyesalan atau jumlah
perbuatan baik, melainkan pada janji Allah dalam Kristus. Ajaran ini
menghadirkan penghiburan yang kokoh bagi hati nurani: bahwa di dalam Kristus,
dosa benar-benar telah diampuni.

0 Response to "Apa Itu Pertobatan Sejati? Pandangan Teologi Lutheran yang Menghibur Hati Nurani"
Posting Komentar