Sejarah Pengakuan Iman Rasuli: Asal Usul, Konteks, dan Perkembangannya dalam Gereja Kristen

Pendahuluan

Pengakuan Iman Rasuli (Apostles' Creed) adalah salah satu pengakuan iman yang paling penting dalam tradisi Kristen. Pengakuan ini telah dipakai dalam ibadah dan sebagai standar ajaran untuk menjaga kesatuan iman sejak abad-abad awal gereja. Artikel ini akan menggali lebih dalam mengenai asal-usul Pengakuan Iman Rasuli, sejarah penyusunannya, dan bagaimana ia berkembang seiring waktu, didukung dengan berbagai referensi yang lebih tua dan mendalam untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif.

I.        Asal Usul Pengakuan Iman Rasuli

Pada awalnya, Pengakuan Iman Rasuli disusun pada abad kedua Masehi dalam konteks gereja yang sedang berkembang dan menghadapi tantangan besar berupa ajaran-ajaran sesat. Meskipun pengakuan ini tidak dapat dipastikan siapa yang pertama kali menyusunnya, teks tersebut diyakini mulai disusun berdasarkan pengajaran-pengajaran yang diturunkan dari para rasul. Dengan tujuan untuk menyaring ajaran yang benar dan yang sesat, gereja mulai merumuskan suatu pernyataan iman yang jelas, singkat, dan mudah dipahami.

Pada abad kedua, berbagai ajaran sesat seperti Gnostisisme, Marcionisme, Docetisme dan Abad keempat seperti Arianisme mulai meresap ke dalam gereja, merusak pemahaman umat Kristen mengenai Kristus dan esensi ketuhanan-Nya. Sebagai reaksi terhadap hal ini, gereja memerlukan sebuah rumusan ajaran yang konsisten. Salah satu hasil dari upaya ini adalah terciptanya Pengakuan Iman Rasuli. Menurut banyak sejarawan, teks ini pertama kali diterima oleh gereja di Roma pada abad keempat, dengan bentuk yang lebih formal, meskipun beberapa bagian sudah ada jauh sebelumnya. Ini mencerminkan usaha gereja untuk menjaga kemurnian ajaran iman Kristen terhadap ajaran yang bertentangan dengan Injil.

II.     Pengajaran yang Ditentang dengan Kemunculan Pengakuan Iman Rasuli

1.      Gnostisisme
Gnostisisme mengajarkan bahwa keselamatan hanya dapat dicapai melalui pengetahuan rahasia (gnosis), yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Ajaran ini merendahkan tubuh fisik dan dunia material, serta memisahkan keduanya dari dunia spiritual yang lebih tinggi. Gnostik mengajarkan bahwa Yesus bukanlah Tuhan yang sejati, melainkan hanya salah satu pengantara pengetahuan, dan bahwa Dia tidak benar-benar menderita atau mati di salib.

Pengakuan Iman Rasuli menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah "Tuhan dan Juru Selamat" yang dilahirkan dari Roh Kudus, mati untuk dosa-dosa manusia, dan bangkit pada hari ketiga. Ajaran ini secara jelas menentang Gnostisisme dengan menegaskan inkarnasi Yesus dan penderitaan-Nya sebagai bagian dari keselamatan umat manusia (Irenaeus, 180 M).

2.      Docetisme
Docetisme adalah ajaran yang mengatakan bahwa tubuh Yesus hanyalah ilusi dan bahwa Dia tidak benar-benar mengalami penderitaan fisik atau kematian di kayu salib. Ajaran ini bertentangan dengan kenyataan inkarnasi Yesus, yang menjadi manusia sejati dan menderita untuk menebus dosa manusia.

Pengakuan Iman Rasuli menegaskan bahwa Yesus "dilahirkan dari Roh Kudus dan Maria Perawan," dan bahwa Dia "menderita, disalibkan, mati, dan dikuburkan," yang merupakan penolakan langsung terhadap ajaran Docetisme. Hal ini menegaskan bahwa penderitaan dan kematian Yesus adalah fakta historis yang tidak dapat disangkal (Irenaeus, 180 M).

3.      Marcionisme
Marcionisme adalah aliran sesat yang diajarkan oleh Marcion pada abad kedua. Marcion mengajarkan bahwa Tuhan Perjanjian Lama berbeda dari Tuhan yang diungkapkan melalui Yesus Kristus. Dia juga menolak kitab-kitab Perjanjian Lama dan memandangnya sebagai ajaran yang tidak relevan bagi umat Kristen.

Pengakuan Iman Rasuli menegaskan kesatuan antara Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Roh Kudus. Dengan demikian, pengajaran ini secara tidak langsung menegaskan bahwa Allah yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang sama dengan yang diungkapkan melalui Yesus Kristus, yang bertentangan dengan ajaran Marcion (Tertullian, 200 M).

4.      Arianisme
Arianisme, yang dicetuskan oleh Arius (256–336 M), adalah ajaran yang memisahkan Yesus Kristus dari keilahian Bapa. Arius berpendapat bahwa Yesus adalah ciptaan Tuhan, bukan sehakikat dengan Allah, yang langsung bertentangan dengan doktrin Trinitas yang diterima gereja. Ajaran ini menciptakan ketegangan besar di dalam gereja Kristen pada abad ke-4.

Pengakuan Iman Rasuli, dengan penekanan pada keilahian Yesus dan pengakuan bahwa Yesus adalah "Anak Allah yang sehakikat dengan Bapa," secara tegas menentang ajaran Arius. Konsili Nicea pada 325 M juga mempertegas ajaran ini dengan menetapkan bahwa Yesus adalah "sehakikat dengan Bapa," yang merupakan inti dari doktrin Trinitas (Athanasius, 325 M).

III.   Pengakuan Iman Rasuli dalam Sejarah Gereja Awal

Seiring dengan berkembangnya gereja, Pengakuan Iman Rasuli menjadi alat penting dalam pembaptisan dan pengajaran umat. Teolog seperti Irenaeus (sekitar 130–200 M) dan Tertullian (sekitar 155–240 M) menyebutkan pentingnya pengakuan iman sebagai cara untuk memastikan bahwa umat yang dibaptis memahami dan menerima ajaran gereja secara benar. Dengan adanya pengakuan ini, calon baptisan diperkenalkan dengan pokok-pokok ajaran dasar yang menjadi inti ajaran Kristen, seperti kepercayaan akan Tuhan yang Maha Esa, Yesus Kristus sebagai Juru Selamat, dan kebangkitan tubuh.

Sebagai contoh, dalam bukunya Adversus Haereses, Irenaeus menekankan pentingnya keutuhan doktrin yang dijaga dalam tradisi apostolik. Irenaeus berargumen bahwa gereja-gereja yang mengikuti ajaran rasuli adalah gereja yang sah, dan bahwa ajaran-ajaran yang keluar dari doktrin dasar ini harus ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa pengakuan iman yang jelas dan bersumber dari para rasul sangat penting untuk menjaga kesatuan dalam gereja.

IV.   Pengakuan Iman Kuno dan Perkembangannya

Sebelum adanya Pengakuan Iman Rasuli, gereja-gereja awal sering kali memiliki variasi dalam cara mereka merumuskan ajaran Kristen, tetapi dengan waktu, pengakuan ini mulai distandarisasi. Pengakuan Iman Rasuli berfungsi sebagai rumusan standar yang digunakan oleh banyak gereja di seluruh dunia Kristen, meskipun dengan sedikit perbedaan dalam versi dan pengucapannya. Teks ini pertama kali ditemukan dalam berbagai tulisan gereja kuno yang mengacu pada ajaran pokok dalam tradisi apostolik.

Selain itu, pada masa Konsili Nicea (325 M) dan Konsili Konstantinopel (381 M), pengakuan iman menjadi bagian integral dari peneguhan doktrin Trinitas yang lebih formal. Keputusan-keputusan ini menunjukkan bagaimana Pengakuan Iman Rasuli bukan hanya didasarkan pada ajaran-ajaran para rasul, tetapi juga merupakan respons gereja terhadap tantangan teologis yang dihadapi gereja pada masanya.

Dalam konteks ini, para teolog gereja mula-mula seperti Athanasius dari Aleksandria (circa 296-373 M) dan Hilarius dari Poitiers (circa 300-368 M) berperan penting dalam memperkenalkan pengajaran mengenai ketuhanan Yesus Kristus yang diterima dalam Konsili Nicea. Pengakuan Iman Rasuli berfungsi untuk menegaskan ajaran yang sah dan mengonfirmasi komitmen umat Kristen terhadap Trinitas dan karya keselamatan Kristus.

V.     Kesimpulan

Pengakuan Iman Rasuli adalah salah satu warisan teologis yang sangat penting dalam sejarah Kristen, dengan akar yang sangat dalam pada abad-abad awal gereja. Pengakuan ini telah berkembang dari sebuah rumusan ajaran dasar yang dibutuhkan untuk menjaga kemurnian ajaran Kristen, menjadi bagian integral dari ibadah gereja hingga saat ini. Dengan kontribusi yang besar terhadap penyatuan ajaran Kristen, Pengakuan Iman Rasuli tetap relevan sebagai bagian dari identitas iman Kristen, bahkan dalam konteks gereja-gereja kontemporer yang terus berkembang.

 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sejarah Pengakuan Iman Rasuli: Asal Usul, Konteks, dan Perkembangannya dalam Gereja Kristen "

Posting Komentar