1.1.
Latar Belakang
Topik
mengenai peran laki-laki sebagai pendeta dalam gereja Lutheran dipilih karena
terkait dengan tradisi dan ajaran Alkitab yang telah berlangsung lama, yang
mengharuskan laki-laki untuk memegang jabatan ini. Meskipun fenomena gereja
yang semakin terbuka terhadap perempuan dalam peran kepemimpinan lainnya,
posisi pendeta masih menjadi topik yang sangat diperdebatkan. Dalam konteks
ini, gereja Lutheran secara khusus menegaskan bahwa peran ini hanya
diperuntukkan bagi laki-laki, sesuai dengan prinsip Alkitab dan sejarah teologi
gereja. Pandangan ini mendasarkan dirinya pada beberapa aspek, mulai dari
pemahaman akan tata ilahi dalam penciptaan manusia hingga penetapan peran
gender dalam tradisi gereja yang mendalam (Perl, 2002).
Fenomena
ini semakin relevan mengingat perkembangan sosial yang terus berubah, yang
kerap mengarah pada pertanyaan tentang peran gender dalam kepemimpinan gereja.
Berdasarkan penelitian oleh Lee (2024), munculnya perempuan dalam pelayanan
gereja, meskipun dengan berbagai tantangan, menjadi sorotan karena pengaruhnya
terhadap struktur kekuasaan dalam komunitas gereja (Lee, 2024).
Meskipun
demikian, dalam tradisi gereja Lutheran, pandangan mengenai pemisahan peran
antara pria dan wanita dalam pelayanan publik tetap menjadi hal yang sangat
penting, mencerminkan keyakinan yang lebih mendalam tentang peran laki-laki
sebagai kepala keluarga dan pemimpin spiritual yang diperintahkan oleh Allah (Bassett, 2006).
Perdebatan
ini penting untuk dipahami dalam konteks teologi Kristen, khususnya dalam
cabang teologi Lutheran yang memandang imamat sebagai panggilan yang jelas dan
terstruktur, yang hanya dapat dijalankan oleh laki-laki. Mengingat hal ini,
penting untuk menggali lebih jauh landasan Alkitabiah dan tradisi gereja yang
membentuk pandangan ini, serta relevansinya dalam kehidupan gereja masa kini.
1.2.
Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini, beberapa pertanyaan yang ingin dijawab terkait dengan topik peran
pendeta laki-laki dalam gereja Lutheran adalah sebagai berikut:
1.
Apa saja landasan Alkitab dan tradisi
gereja yang mendukung ketetapan pendeta harus laki-laki dalam gereja Lutheran?
2.
Bagaimana teologi Lutheran membedakan
antara imamat umum dan pelayanan publik sebagai pendeta?
3.
Bagaimana relevansi prinsip imamat
laki-laki dalam menjaga otoritas dan integritas pelayanan jemaat Lutheran masa
kini?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan
utama dari penulisan makalah ini adalah untuk mendalami dan menjelaskan
dasar-dasar Alkitabiah dan tradisi gereja yang mendukung pandangan bahwa
pendeta harus laki-laki dalam gereja Lutheran. Selain itu, makalah ini
bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai perbedaan antara imamat umum dan
pelayanan publik sebagai pendeta menurut teologi Lutheran, serta menganalisis
relevansi prinsip imamat laki-laki dalam konteks gereja Lutheran masa kini,
terutama dalam menjaga otoritas dan integritas pelayanan jemaat.
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua kategori:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian teologi Kristen dan teologi Lutheran. Melalui pembahasan mengenai landasan Alkitab dan tradisi gereja yang mendukung peran laki-laki sebagai pendeta, makalah ini memperkaya pemahaman tentang konsep imamat dalam konteks gereja Lutheran, serta bagaimana prinsip-prinsip ini dapat dipertahankan dalam menghadapi tantangan sosial dan gerejawi yang terus berkembang.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, makalah
ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemimpin gereja, pengkhotbah, dan
anggota jemaat Lutheran dalam memahami dan memperkuat penerapan prinsip imamat
laki-laki di gereja. Makalah ini juga dapat membantu gereja Lutheran dalam mempertahankan
integritas otoritas pelayanan, serta memberikan wawasan yang relevan dalam
pengelolaan gereja di masa kini, yang menghadapi berbagai dinamika sosial dan
teologis.
2.1.
Teologi Alkitabiah tentang Kepemimpinan
Laki-laki
Dalam
Perjanjian Lama dalam Kejadian 2:7, 18-22, Allah menciptakan Adam terlebih
dahulu baru Hawa. Adam diberi tanggung jawab langsung oleh Allah, untuk memberi
nama binatang (Kejadian 2:20), menjaga taman Eden (Kejadian 2:15), lalu
menerima perintah langsung mengenai pohon pengetahuan baik dan jahat sebelum
Hawa diciptkan (Kejadian 2:16-17). Ketika manusia berdosa, Allah memanggil Adam
lebih dahulu (Kejadian 3:9), menunjukkan tanggung jawab perwakilan kepala keluarga.
Dalam tatanan penciptaan, Allah telah menetapkan laki-laki sebagai kepala, untuk
memikul tanggung jawab rohani. Dalam sistem ke Imamatan Israel, hanya laki-laki
dari suku Lewi yang boleh menjadi imam (Imamat 8-10). Tidak ada contoh
perempuan yang ditahbiskan menjadi imam, hal ini menunjukkan bahwa tugas
keimamam publik adalah fungsi laki-laki dalam representasi umat kepada Allah. Kepemimpinan
dalam gereja berdasarkan teologi Kristen sering kali dipahami melalui konsep
imamat yang ditegaskan dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Baru, Yesus memilih 12 murid dari laki-laki untuk menjadi rasul, meskipun banyak pengikut perempuan
(Lukas 8:1-3, Yohanes 4, Matius 27). Pemilihan ini adalah tindakan sadar,
menunjukkan pola normatif untuk kepemimpinan rohani publik. Dalam 1 Timotius
3:1-7 dan Titus 1:5-9, posisi pendeta atau penilik gereja (elder) secara
eksplisit diharuskan untuk laki-laki. Hal ini berakar pada pemahaman bahwa
Tuhan, dalam menciptakan manusia, memberikan peran kepemimpinan kepada
laki-laki dalam struktur rumah tangga dan gereja (Smith, 1993). Pemahaman ini
juga diperkuat oleh konsep "kepala keluarga" yang muncul dalam Efesus
5:22-24, di mana laki-laki diposisikan sebagai pemimpin dalam konteks hubungan
suami-istri, yang berfungsi sebagai dasar bagi struktur kepemimpinan di gereja.
2.2. Kepemimpinan dalam Konteks Gereja Lutheran
Teologi
Lutheran menganggap jabatan pendeta sebagai panggilan ilahi yang diberikan oleh
Tuhan untuk mengajarkan Injil dan melayankan sakramen. Dalam pandangan ini,
pendeta dianggap sebagai yang bertanggung jawab untuk memimpin jemaat dengan
otoritas yang diberikan melalui Firman Tuhan. Prinsip ini juga diterapkan dalam
pemahaman Lutheran mengenai peran gender dalam pelayanan gereja. Dalam konteks
ini, kepemimpinan gereja yang dipegang oleh laki-laki dianggap selaras dengan
pengajaran Alkitab dan tradisi gereja yang menganggap laki-laki sebagai
pemegang otoritas rohani utama (Pratt, 2022).
2.3. Peran Perempuan dalam Kepemimpinan Gereja
Meskipun
demikian, ada berbagai pandangan mengenai peran perempuan dalam gereja. Dalam
banyak tradisi gereja, perempuan telah diakui sebagai pemimpin dalam kapasitas
tertentu, tetapi seringkali dibatasi dalam hal jabatan formal seperti pendeta.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa meskipun perempuan memainkan peran
penting dalam pelayanan gereja, posisi mereka dalam kepemimpinan gereja sering
kali dibatasi oleh budaya patriarkal yang menganggap laki-laki sebagai pemimpin
rohani utama (Ojong, 2017).
2.4. Teologi Kepemimpinan Alkitabiah: Peran
Laki-laki dalam Gereja
Sebagai
contoh, dalam tradisi Lutheran, kepemimpinan gereja yang didasarkan pada
Alkitab memiliki dasar yang kuat dalam posisi laki-laki sebagai pemimpin yang
ditunjukkan dalam berbagai ayat, seperti 1 Timotius 2:12-14 yang mengarahkan
bahwa perempuan tidak mengajar atau memimpin di gereja. Pandangan ini lebih
mendalam, mengingat pemahaman bahwa kepemimpinan gereja adalah panggilan yang
diberikan Tuhan melalui pengajaran dan pelaksanaan sakramen, yang dipercayakan
kepada laki-laki sesuai dengan peran gender yang ditetapkan dalam Alkitab (Fevig, 2016).
2.5. Imamat Umum dan Pelayanan Publik sebagai
Pendeta
Dalam
tradisi Lutheran, terdapat perbedaan jelas antara imamat umum, yang dapat
dijalankan oleh semua orang percaya, dan pelayanan khusus sebagai pendeta, yang
ditujukan hanya bagi laki-laki. Hal ini mengarah pada pemahaman bahwa meskipun
setiap orang percaya memiliki panggilan untuk melayani, hanya laki-laki yang
dapat memegang otoritas dalam pelayanan sakramen dan pengajaran Alkitab di
dalam gereja. Teologi Lutheran menegaskan bahwa pelayanan ini adalah tugas yang
diatur oleh Tuhan dan diberikan melalui panggilan yang spesifik, bukan
berdasarkan kesetaraan gender (Crowther, 2018).
3.1.
Landasan Alkitab dan Tradisi Gereja
yang Mendukung Ketetapan Pendeta Harus Laki-laki dalam Gereja Lutheran
Dalam
tradisi gereja Lutheran, landasan Alkitab yang mendukung bahwa pendeta harus
laki-laki ditemukan dalam ajaran-ajaran Paulus, terutama dalam surat-surat
pastoral yang terdapat dalam 1 Timotius 3:1-7 dan Titus 1:5-9. Paulus
menegaskan bahwa pendeta harus memenuhi syarat-syarat moral dan spiritual yang
ketat, termasuk menjadi pria yang memiliki satu istri. Dalam pandangan ini,
peran laki-laki sebagai pendeta bukan hanya soal tradisi gereja, tetapi
merupakan bagian dari struktur ilahi yang tercermin dalam penciptaan manusia
sebagai laki-laki dan perempuan dengan peran yang berbeda (Mohler, 2005).
Lebih
lanjut, teologi Lutheran menganggap jabatan pendeta sebagai panggilan ilahi
yang hanya diberikan kepada laki-laki. Ini dipandang sebagai bagian dari
doktrin “sola scriptura” yang menganggap Alkitab sebagai otoritas tertinggi
dalam menentukan struktur kepemimpinan gereja. Meskipun perempuan memiliki
peran penting dalam gereja, ajaran tradisional gereja Lutheran menekankan bahwa
kepemimpinan rohani yang berotoritas, seperti pendeta, harus dipegang oleh
laki-laki untuk menjaga otoritas dan integritas ajaran gereja (Lawrenz, 2004).
3.2.
Perbedaan Imamat Umum dan Pelayanan
Publik sebagai Pendeta dalam Teologi Lutheran
Teologi
Lutheran membedakan dengan jelas antara imamat umum dan pelayanan publik
sebagai pendeta. Imamat umum merujuk pada panggilan semua orang percaya untuk
melayani di dalam gereja, yang memungkinkan laki-laki dan perempuan untuk
berkontribusi sesuai dengan karunia mereka. Namun, pelayanan publik sebagai
pendeta, yang melibatkan pengajaran Firman Tuhan dan pemberian sakramen,
diharuskan hanya dilakukan oleh laki-laki. Ini didasarkan pada pengajaran
Alkitab yang mengatur bahwa peran pemimpin rohani, yang berfungsi sebagai
pengatur ajaran dan pembimbing rohani, hanya dapat dipegang oleh laki-laki (Fevig, 2016).
Perbedaan
ini mencerminkan pemahaman Lutheran bahwa meskipun setiap orang percaya
memiliki panggilan untuk melayani, hanya laki-laki yang dapat memegang otoritas
penuh dalam pengajaran dan pemberian sakramen. Teologi Lutheran menegaskan
bahwa pemisahan ini bukan hanya tradisional, tetapi dilandaskan pada pengajaran
Alkitab yang jelas mengenai struktur gender dalam kehidupan gereja (Mattes, 2016).
3.3.
Relevansi Prinsip Imamat Laki-laki
dalam Gereja Lutheran Masa Kini
Prinsip
imamat laki-laki dalam gereja Lutheran tetap relevan hingga saat ini, meskipun
ada perdebatan yang berkembang mengenai peran perempuan dalam kepemimpinan
gereja. Dalam konteks gereja modern, prinsip ini dianggap penting untuk menjaga
otoritas rohani dan integritas ajaran gereja. Dalam gereja Lutheran, peran
pendeta tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai penjaga ajaran yang
mengajarkan Firman Tuhan dengan setia dan memberikan sakramen yang sah. Oleh
karena itu, keputusan untuk membatasi jabatan pendeta hanya untuk laki-laki
dipandang sebagai cara untuk memastikan bahwa pelayanan gereja tetap berfokus
pada otoritas yang diberikan Tuhan kepada laki-laki sebagai pemimpin dalam
kehidupan gereja (Chisale, 2020).
Dalam
gereja Lutheran masa kini, prinsip ini juga berfungsi untuk menjaga tradisi
gereja yang telah mengakar dan memastikan bahwa pelayanan gereja tidak
terganggu oleh perubahan sosial yang cepat. Walaupun ada peningkatan jumlah
perempuan yang terlibat dalam berbagai posisi pelayanan, tetap ada keyakinan
bahwa jabatan pendeta harus dijaga oleh laki-laki untuk memelihara stabilitas
teologis dan integritas ajaran yang telah diajarkan dalam Alkitab.
4.1. Kesimpulan
Gereja Lutheran memandang
peran pendeta laki-laki sebagai bagian dari struktur ilahi yang telah
ditetapkan melalui Alkitab dan tradisi gereja. Ketetapan ini didukung oleh
ajaran-ajaran Paulus yang secara tegas menyebutkan bahwa jabatan pendeta harus
dipegang oleh laki-laki, baik dalam surat-surat pastoral maupun ajaran tentang
peran gender dalam keluarga dan gereja. Dalam teologi Lutheran, ada perbedaan
jelas antara imamat umum dan pelayanan publik sebagai pendeta, yang
mengharuskan hanya laki-laki yang dapat memegang jabatan tersebut. Meskipun ada
dinamika sosial yang berkembang terkait dengan peran perempuan dalam
kepemimpinan gereja, prinsip ini tetap dijaga dalam gereja Lutheran untuk
menjaga otoritas dan integritas pelayanan gereja.
Referensi:
Bassett, R. (2006). Men and Women in the
Church. Journal of Psychology and Christianity, 25, 357.
Chisale, S. S. (2020). ‘Deliver us from
patriarchy’: A gendered perspective of the Evangelical Lutheran Church in
Southern Africa and implications for pastoral care. Verbum Et Ecclesia.
https://doi.org/10.4102/ve.v41i1.2003
Crowther, S. (2018). A Call for Biblical
Leadership. , 153-166. https://doi.org/10.1007/978-3-319-89569-7_8.
Fevig, J. (2016). Equipping Aspiring
Elders for Ministry Effectiveness at Harvest Bible Chapel, Miami,
Florida.
Lawrenz, J. C. (2004). Exploring Old
Testament Foundations that Support Distinct Roles for Men and Women in Work,
Worship, and their Walk Together.
Lee, Y. (2024). Women in the pulpit:
Characteristics of protestant churches led by a female pastor. Nonprofit
Management and Leadership. https://doi.org/10.1002/nml.21612
Mattes, M. (2016). Lutheran Tradition as
Heritage and Tool: An Empirical Study of Reflections on Confessional Identity
in Five Lutheran Churches in Different Contexts. Lutheran Quarterly.
Mohler, R. (2005). Missouri Synod
Lutherans Defend Biblical Requirements for Ministry.
Ojong, V. B. (2017). Gender and
leadership in Christian religious circles in Africa. Journal of Social
Development in Africa. https://doi.org/10.4314/JSDA.V32I2
Perl, P. M. (2002). Gender and mainline
Protestant pastors’ allocation of time to work tasks. Journal for the
Scientific Study of Religion. https://doi.org/10.1111/1468-5906.00108
Pratt, J. (2022). Leadership Foundations
for Christian Leaders. Gospel Leadership.
https://doi.org/10.56505/001c.33148
Smith, L. (1993). Women’s Role in the
Church.