Mengapa Lutheran Menolak Pandangan Calvinis tentang Perjamuan Kudus?

Perjamuan Kudus: Perbedaan Lutheran dengan Calvinis

Ps. Matthew Jason Wood (LCMS)

(Dikutip dari Pemaparan Materi Workshop; SESI 1 )

 

Perbedaan atau pertentangan antara pandangan Calvinis dan Lutheran akan tampak melalui pemaknaan Perjamuan Kudus. Yang terjadi pada suatu masa ialah sebagian kalangan Calvinis berpura-pura menjadi Lutheran. Mengapa demikian? Karena pada tahun 1555 Lutheran akhirnya diakui oleh Kaisar Romawi Suci, sehingga sah secara hukum bagi seorang penguasa menetapkan wilayahnya sebagai Lutheran.

Sejak 1555 itu, gereja-gereja Lutheran diakui oleh negara dan juga oleh kalangan Katolik; inilah yang dikenal sebagai Perdamaian Augsburg (Peace of Augsburg). Disebut “Augsburg” karena peristiwa dan kesepakatan itu terkait dengan kekuasaan Kaisar Karl (Charles) V. Sementara itu, ajaran Calvinis masih dianggap ilegal pada masa tersebut. Karena itulah sebagian dari mereka memilih menyamar sebagai Lutheran. Secara khusus, hal ini tampak dalam pengajaran mereka tentang Perjamuan Kudus. Ketika kalangan Calvinis berpura-pura seperti Lutheran, mereka disebut Kripto-Calvinis (Calvinis “rahasia”). Mereka mengatakan, “kami menerima tubuh dan darah Kristus,” tetapi yang mereka maksud ialah penerimaan secara rohani (spiritual) semata.

Mereka tidak percaya bahwa Allah berkuasa menjadikan roti dan anggur sungguh-sungguh tubuh dan darah Kristus. Kalangan Calvinis kerap berpendapat mengenai hal-hal yang, menurut mereka, tidak dapat dilakukan Allah. Ini tentu ganjil: bagaimana mungkin orang berpikir tentang sesuatu yang tidak dapat Allah lakukan?

Ilustrasi

Saya sangat senang dengan nyanyian Kidung Jemaat No. 313, karena tegas bersifat Lutheran. Perhatikan: pada bait ketiga dinyatakan “tubuh Kristus yang kumakan,” dan pada bait keempat “roti itu tubuh Kristus.” Ini menunjukkan kejelasan istilah dalam tradisi Lutheran. Dalam liturgi, pendeta menyodorkan hosti di hadapan jemaat sambil mengatakan, “Inilah tubuh Kristus,” dan menanti respons jemaat, “Amin,” yang berarti, “ya, saya percaya sebagaimana yang pendeta nyatakan.” Ketika anggur dibagikan, pendeta berkata, “Inilah darah Kristus.”

Sementara itu, sebagian kalangan Calvinis cerdik dalam berbahasa. Mereka berkata, “Yesus bersabda: ‘Inilah tubuh-Ku’,” untuk menghidupkan tafsir mereka atas kata-kata itu. Sebab menurut mereka, ketika Yesus berkata “Inilah tubuh-Ku,” maksudnya bukan “ini sungguh tubuh-Ku,” melainkan sekadar mewakili tubuh-Nya. Dengan rumusan seperti itu, mereka merasa bebas menafsirkan kalimat tersebut sesuai kehendak masing-masing. Akibatnya, setiap orang dapat menafsirkan sesuka hati. Ini tentu rumit dan menyesatkan.

Perbedaan antara pendeta yang berkata “Inilah tubuh-Ku” dan pendeta yang berkata “Yesus bersabda: ‘Inilah tubuh-Ku’” sekilas tampak kecil. Namun bagi Lutheran, penggunaan bahasa pertama adalah penyampaian iman (konfesi). Ketika dikatakan “Inilah tubuh Kristus,” itu menyatakan apa yang kita imani tentang tubuh Kristus pada Perjamuan Kudus. Adapun sebagian Calvinis hanya mengutip Kitab Suci dalam liturgi tanpa mengonfesikan makna objektifnya; mereka menyembunyikan pengakuan ajarannya.

Dalam sejumlah agenda liturgi termasuk Agenda GKLI kadang dipakai rumusan “Yesus bersabda: ‘Inilah tubuh-Ku’.” Apakah ini berarti GKLI salah? Tidak. Konteksnya dapat berbeda. Namun kita perlu berhati-hati, karena orang bisa salah paham. Saat melayankan Perjamuan Kudus, jemaat perlu diajarkan bahwa melalui konsekrasi, roti menjadi tubuh Kristus dan anggur menjadi darah Kristus; ketika kita makan dan minum, kita benar-benar menerima tubuh dan darah Kristus bukan sekadar kehadiran rohani dan masuk ke dalam mulut kita. Hal ini berlaku setiap kali Perjamuan Kudus dilayankan.

Jika seseorang tidak percaya bahwa yang diberikan itu adalah tubuh dan darah Kristus, maka ia tidak menerima tubuh dan darah Kristus sebagai berkat. Inilah yang disebut pandangan resepsionisme: roti dan anggur baru menjadi tubuh dan darah Kristus ketika seseorang menerimanya dengan iman. Masalahnya, pandangan ini memindahkan kuasa sakramen dari firman Allah kepada iman manusia. Seolah-olah, ketika firman tidak menjadikan roti sebagai tubuh, iman yang melakukannya. Padahal menerima tubuh dan darah Kristus dengan iman memang penting, tetapi yang menjadikan roti dan anggur sebagai tubuh dan darah Kristus adalah firman Kristus yang diucapkan dalam pelayanan, bukan iman penerima.

Bagaimana bila seseorang tidak percaya kepada Kristus tetapi tetap menerima Perjamuan Kudus? Rasul Paulus menegaskan dalam 1 Korintus 11 bahwa siapa yang makan dan minum tubuh dan darah Tuhan dengan cara yang tidak layak yaitu tanpa iman akan makan dan minum hukuman atas dirinya. Itu buruk bagi orang yang tidak percaya namun tetap menerima sakramen. Karena itu, di kalangan LCMS, kami berusaha memastikan bahwa setiap orang yang mengikuti komuni di gereja kami seiman dengan apa yang diajarkan gereja.

Mari kita melihat 1 Korintus 11:27–29:

“Jadi, barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu, hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Sebab barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.”

Jelas bahwa ketika kita makan dan minum roti dan anggur, kita makan dan minum tubuh dan darah Tuhan. Bahkan orang yang tidak layak yang makan dan minum tanpa iman tetap makan dan minum tubuh dan darah Tuhan, namun untuk hukuman. Jadi realitas sakramen objektif, bukan ditentukan oleh perasaan atau kondisi batin penerima.

Lihat juga ayat 32:

“...kalau kita menerima hukuman dari Tuhan, kita dididik, supaya kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia.”

Dalam bahasa Indonesia, istilah “dihukum” (sebagai pendidikan/disiplin Bapa) dan “dikutuk” (penghakiman akhir) bisa membingungkan. Yang dimaksud Paulus di sini ialah disiplin ilahi Tuhan mendidik supaya kita tidak binasa bersama dunia.

Kontroversi utama berkisar pada tubuh dan darah Kristus yang ada di dalam, bersama, dan di bawah roti dan anggur. Mengapa kalangan Calvinis berpikir lain? Calvin dan Zwingli (Swinley) berpendapat bahwa Kristus tidak dapat “turun” lagi dari surga; Ia terkurung di sana. Pengakuan Iman Rasuli menyatakan, “Ia naik ke surga dan duduk di sebelah kanan Bapa.” Mereka memahami frasa itu sebagai tempat khusus yang membatasi kehadiran tubuh Kristus.

Bagaimana pemahaman Lutheran? “Duduk di sebelah kanan Bapa” berarti bertakhta (enthroned)—memerintah. Di manakah Allah memerintah? Di seluruh ciptaan: surga dan bumi. Jadi “sebelah kanan Allah” menunjuk pada status kuasa, bukan lokasi geografis. Karena Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, natur ilahi-Nya membagikan kuasa kepada natur manusiawi-Nya. Tubuh manusia memang terbatas, tetapi keilahian Kristus memungkinkan tubuh-Nya hadir di mana-mana sesuai kehendak-Nya. Dengan kuasa itu, Yesus menjadikan roti tubuh-Nya dan anggur darah-Nya.

Sebaliknya, pemahaman Calvinis menegaskan bahwa natur ilahi Kristus dapat hadir di mana-mana, tetapi natur manusiawi-Nya terbatas di surga. Konsekuensinya, tubuh Kristus dianggap tidak dapat hadir di banyak tempat sekaligus di bumi. Dengan demikian, kemanusiaan Yesus tampak seperti bagian kecil saja dari Pribadi Kedua Allah Tritunggal. Karena itulah, kadang orang Lutheran mengatakan bahwa menurut Calvinis, Pribadi Kedua Tritunggal mengenakan kemanusiaan seperti sarung tangan boneka sebuah gambaran untuk mengkritik pemisahan natur yang terlalu tajam.

Comments