Doa Syafaat: Anugerah Allah bagi Jemaat dan Kehidupan Baru (1 Timoteus 2:1–15)

KHOTBAH PERKUMPULAN JEMAAT SEKALIGUS ACARA 7 BULANAN
Nats: 1 Timoteus 2:1–15

 
Pendahuluan

Bapak/ibu Saudara-saudari yang terkasih dalam nama Tuhan Yesus Kristus!

Kita mengucap syukur hari ini kita boleh berkumpul di rumah rumah Dinas Pendeta Resort GKLI Parlilitan dalam ibadah rumah tangga yang kita lakukan setiap 1x seminggu yang sudah menjadi tradisi jemaat kita setiap minggunya. Persekutuan yang bergilir dari rumah ke rumah ini adalah berkat bagi kita untuk menerima pelayanan panggilan dan pelayanan Tuhan untuk kita, sebab kita belajar bahwa gereja bukan hanya gedung, tetapi juga tubuh Kristus yang hidup dalam keluarga dan jemaat.

Khusus hari ini, kita juga berdoa buat keluarga besar bapak Pdt. Julianto Simanjorang, M.Th (Pendeta Resort GKLI Resort Parlilitan) dimana istri beliau sedang mengandung 7 bulan. Inilah momen syukur, doa, sekaligus pengingat bahwa hidup adalah anugerah Allah.

Firman Tuhan dari 1 Timoteus 2:1–15 memberikan dasar yang kuat untuk merenungkan makna doa syafaat dalam kehidupan jemaat. Rasul Paulus mengajarkan bahwa doa bukan sekadar rutinitas, melainkan pusat dari hidup orang percaya. Dalam khotbah ini, kita akan merenungkan tiga hal utama: mengapa kita perlu doa, bagaimana doa kita sampai kepada Allah, dan bagaimana kita dipanggil hidup sebagai jemaat yang berdoa.

Tema: Doa Syafaat: Anugerah Allah bagi Jemaat dan Kehidupan Baru
I.        Mengapa Kita Perlu Doa?

Pertama, Paulus menegaskan: “Pertama-tama aku menasihatkan: naikkanlah permohonan, doa syafaat, dan ucapan syukur untuk semua orang.” (ay. 1). Kata “pertama-tama” di sini menunjukkan prioritas. Paulus ingin jemaat di Efesus, dan juga kita, sadar bahwa doa adalah fondasi hidup orang percaya.

1.     Kita hidup dalam keterbatasan.

Setiap orang tahu bahwa hidup penuh dengan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Kita bisa bekerja keras, merencanakan dengan matang, tetapi hasil akhirnya tetap di luar kuasa kita. Itulah sebabnya doa syafaat diperlukan. Kita berdoa bukan karena kita mampu, tetapi justru karena kita tidak mampu.

2.     Kita sering egois dalam doa.

Sering kali doa kita hanya berisi permohonan pribadi: kesehatan, rezeki, berkat untuk keluarga. Itu baik, tetapi Firman Tuhan menegur kita: doa sejati mencakup semua orang, bahkan penguasa (ay. 2). Paulus tahu, dengan mendoakan pemimpin, bangsa, dan orang lain, kita sebenarnya sedang mendoakan kedamaian hidup kita juga. Logikanya sederhana: kalau bangsa kacau, kita pun ikut sengsara.

3.     Dosa membuat doa kita lemah.

Lebih dalam lagi, Paulus menunjukkan kelemahan manusia. Laki-laki diminta berdoa tanpa marah atau perselisihan (ay. 8), perempuan diingatkan hidup sopan dan kudus (ay. 9–10). Artinya, bahkan dalam ibadah, dosa bisa merusak doa kita: kemarahan, kesombongan, iri hati, atau kesenangan diri. Semua itu membuat doa kehilangan makna.

Kita rapuh, terbatas, dan berdosa. Tanpa Allah, doa kita hanyalah suara kosong di udara.

II.      Bagaimana Doa Kita Sampai Kepada Allah?

Syukur kepada Allah, Paulus tidak berhenti di situ. Ia melanjutkan dengan kabar Injil: “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia.” (ay. 5–6).

1.     Kristus satu-satunya Pengantara.

Doa kita tidak mungkin sampai kepada Allah hanya karena kesalehan kita. Tetapi Kristus adalah Pengantara, Jembatan antara Allah dan manusia. Dialah yang memperdamaikan kita dengan Bapa. Karena Kristus, doa kita tidak sia-sia.

2.     Kristus menyerahkan diri untuk semua.

Paulus menegaskan Kristus memberi diri-Nya sebagai tebusan, bukan hanya untuk segelintir orang, tetapi untuk semua manusia. Jadi ketika kita berdoa, kita tahu bahwa kita termasuk dalam kasih karunia Allah yang luas itu. Tidak ada doa yang terlalu kecil atau terlalu besar bagi Allah yang sudah menyerahkan Anak-Nya bagi dunia.

3.     Doa berakar dalam Injil.

Tanpa Kristus, doa hanyalah kata-kata kosong. Tetapi karena Kristus, doa adalah percakapan nyata dengan Allah yang hidup. Kristus sendiri mengajar kita berdoa: “Bapa kami yang di sorga...” Doa menjadi mungkin karena Kristus membuka jalan.

Doa kita tidak ditentukan oleh siapa kita, tetapi oleh siapa Kristus.

III.    Bagaimana Kita Hidup sebagai Jemaat yang Berdoa?

Dari Firman ini, ada tiga ajakan penting bagi jemaat:

1.     Berdoa untuk semua orang.

Paulus menekankan bahwa doa tidak boleh sempit. Kita dipanggil mendoakan keluarga, sesama jemaat, tetangga, pemimpin bangsa, bahkan orang yang tidak kita kenal. Dengan doa syafaat, kita menyatakan kasih Allah yang luas.

2.     Hiduplah kudus sesuai doa kita.

Paulus menegur laki-laki agar tidak berdoa dengan amarah, dan perempuan agar berhias dengan kesalehan. Pesannya jelas: doa kita harus sejalan dengan hidup kita. Tidak mungkin kita berdoa minta damai, tapi hidup kita penuh pertengkaran. Tidak mungkin kita minta berkat, tapi hidup kita menolak kekudusan.

3.     Jadikan doa sebagai gaya hidup.

Doa bukan hanya saat kita ada masalah. Doa adalah napas iman. Persekutuan rumah tangga bergilir yang kita jalani ini adalah kesempatan berharga. Minggu ini di rumah keluarga …, minggu depan di rumah jemaat lain. Seperti lilin-lilin kecil yang menyala bergantian, doa jemaat menjadi terang yang tak pernah padam.

Bayangkan sebuah telepon tanpa sinyal. Sebagus apa pun HP kita, tanpa sinyal ia tidak bisa dipakai untuk berkomunikasi. Demikian juga doa tanpa Kristus—tidak akan sampai kepada Allah. Tetapi dengan Kristus sebagai Pengantara, doa kita selalu terhubung dengan Bapa di sorga. Itulah mengapa doa jemaat, baik di rumah tangga maupun di gereja, selalu memiliki kuasa.

Saudara-saudari yang terkasih, mari kita simpulkan:

1.     Kita perlu doa karena kita terbatas dan berdosa.

2.     Doa kita sampai kepada Allah karena Kristus, satu-satunya Pengantara.

3.     Sebagai jemaat, kita dipanggil hidup dalam doa syafaat, kekudusan, dan syukur.

Hari ini kita juga bersyukur atas keluarga Pdt. Julianto Simanjorang, M.Th yang sedang menantikan kelahiran anak pada usia 7 bulan kehamilan. Kehidupan dalam kandungan adalah anugerah besar dari Allah. Sama seperti Yohanes Pembaptis yang bersukacita sejak dalam kandungan (Luk. 1:41), kita percaya bayi ini pun ada dalam perhatian Allah.

Kiranya Tuhan Yesus Kristus, Pengantara kita, melingkupi ibu yang mengandung dengan damai sejahtera-Nya. Kiranya bayi yang dikandung bertumbuh sehat dan kuat, serta dilahirkan dengan selamat pada waktunya. Kiranya keluarga ini diberi kekuatan, sukacita, dan hikmat untuk mendidik anak ini dalam iman kepada Kristus. Dan kiranya jemaat yang hadir pun diteguhkan untuk saling menopang dalam doa, sebab doa orang percaya berkuasa besar di dalam Kristus. Amin.

 

Soli Deo Gloria 😊

 

Comments